Halaman

Selasa, 10 Agustus 2010

Proses Pernikahan pada Suku Karo

“Kronologis Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya”
Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu. Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.
Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang yang disebut dengan “Perlanja Sira” yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)

Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut “perbegu”. Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.
Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi dilaksakan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga, dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang, bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.
Proses Pernikahan 
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai “Anak Perana” dan wanita dewasa dinamai “Singuda-nguda”. Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :
Naki-naki 
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo. Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.
Maba Nangkih
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.
Ngembah Belo Selambar
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak, selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.
Nganting Manuk
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya, berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.
Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family, Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.
Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui. Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan. Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.
Kerja Adat Perjabun
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adapt pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.
Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.
Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat.
Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya.
Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu “si arah raja”, ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur, diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya. Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita, selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.
Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.
Demikianlah sekilas Kronologis Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya, pada zaman dulu, hal ini sebagai kilas balik sesuai dengan zamanya.

Sumber :
Warta GBKP Maranatha Ditulis oleh Y. Sinuraya (Naskah Asli dalam bahasa Karo)
Diterjemahkan oleh Jimmi Hendrawan Sinulingga
Website gbkpjakartapusat.org

Sosial Budaya Karo

Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa Karo. Suku Bangsa Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku Bangsa Karo sendiri. Suku ini terdiri dari 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu.
Merga Silima, yakni:
- Karo-karo
- Ginting
- Sembiring
- Tarigan
- Perangin-angin

Dari kelima Merga tersebut di atas, masih terdapat sub-sub Merga. Berdasarkan Merga ini maka tersusunlah pola kekerabatan atau yang dikenal dengan Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh dan Perkaden-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada.
Rakut Sitelu, yaitu:
- Senina/Sembuyak
- Kalimbubu
- Anak Beru
Tutur Siwaluh, yaitu:
- Sipemeren
- Siparibanen
- Sipengalon
- Anak Beru
- Anak Beru Menteri
- Anak Beru Singikuri
- Kalimbubu
- Puang Kalimbubu
Perkaden-kaden Sepuluh Dua:
- Nini
- Bulang
- Kempu
- Bapa
- Nande
- Anak
- Bengkila
- Bibi
- Permen
- Mama
- Mami
- Bere-bere
Dalam perkembangannya, adat Suku Bangsa Karo terbuka, dalam arti bahwa Suku Bangsa Indonesia lainnya dapat diterima menjadi Suku Bangsa Karo dengan beberapa persyaratan adat.
Masyarakat Karo terkenal dengan semangat keperkasaannya dalam pergerakan merebut Kemerdekaan Indonesia, misalnya pertempuran melawan Belanda, Jepang, politik bumi hangus. Semangat patriotisme ini dapat kita lihat sekarang dengan banyaknya makam para pahlawan di Taman Makam Pahlawan di Kota Kabanjahe yang didirikan pada tahun 1950.
Penduduk Kabupaten Karo adalah dinamis dan patriotis serta taqwa kepada Tuhan Yang Esa. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan.Dalam kehidupan masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3 (tiga) hal pokok yang disebut Tuah, Sangap, dan Mejuah-juah.
Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin dan menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan datang.
Sangap berarti mendapat rejeki, kemakmuran bagi pribadi, bagi anggota keluarga, bagi masyarakat serta bagi generasi yang akan datang.
Mejuah-juah berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya. Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.

Nama dan Pakaian Adat Karo

Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam pakaian adat karo yang kita kenal. Seperti:

Uis nipes
Untuk tudung, “maneh-maneh” (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat.

Uis julu
Untuk sarung, “maneh-maneh”, untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.

Gatip gewang
Untuk menggendong bayi perempuan dan “abit” (sarung) laki-laki

Gatip jongkit
Untuk “gonje” (sarung) upacara adat bagi laki-laki dan selimut bagi “kalimbubu” (paman).

Gatip cukcak
Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.

Uis pementing
Untuk ikat pinggang bagi laki-laki

Batu jala
Untuk tudung bagi anak gadis pada pesta “guro-guro aron”. Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.

Uis arinteneng
Sebagai alas waktu menjalankan mas kawin dan alas piring tempat makan pada waktu “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi.

Uis kelam-kelam
Untuk tudung orang tua, untuk “morah-morah” (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.

Uis cobar dibata
Untuk upacara kepercayaan, seperti “uis jinujung”, “berlangir” dan “ngelandekken galuh”.

Uis beka buluh
Untuk “bulang-bulang” diikatkan di kepala laki-laki pada upacara adat.

Uis gara
Untuk penggendong anak-anak, tudung untuk orang tua dan anak gadis.

Uis jujung-jujungen
Untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat.

Sibayak / Raja

Raja (Sibayak) si lit i Taneh Karo mulana empat ngenca. Sibayak siempat ras piga-piga Raja Urungna ngikutken sitersinget piga-piga perbapan si enggo ndekah umurna bagepe si tersurat emekap:

1. Kerajaan Sibayak Lingga
Merga Sibayakna Karo-karo Sinulingga, inganna tading i Kuta Lingga. Kerajaan Sibayak Lingga eme simbelinna i Taneh Karo, lit 6 Urungna emekap:
- Urung XII Kuta ringan i Kabanjahe
- Urung si III Kuru ringan i Lingga
- Urung Naman ringan i Naman
- Urung Tiga Pancur ringan i Tiga Pancur
- Urung Teran ringan i Batukarang
- Urung Tiganderket ringan i Tiganderket

2. Kerajaan Sibayak Sarinembah
Merga Sibayakna Sembiring Meliala, inganna tading i Kuta Sarinembah, lit 4 Urungna, emekap:
- Urung XVII Kuta ringan i Sarinembah
- Urung Perbesi ringan i Perbesi
- Urung Juhar ringan i Juhar
- Urung Kutabangun ringan i Kutabangun

3. Kerajaan Sibayak Suka
Merga Sibayakna Ginting Suka, inganna tading i Kuta Suka, lit 4 Urungna emekap:
- Urung Suka ringan i Suka
- Urung Sukapiring ringan i Seberaya
- Urung Ajinembah ringan i Ajinembah
- Urung Tengging ringan i Tengging

4. Kerajaan Sibayak Barusjahe
Merga Sibayakna Karo-karo Barus, inganna tading i Kuta Barusjahe, lit 2 Urungna emekap:
- Urung si VII Kuta ringan i Barusjahe
- Urung si VI Kuta ringan i Sukanalu
Jenari tersinget maka ibas kejerangen Kutabuluh Simole lit ringan sekalak Raja. Raja e sinursur Raja ka eme si ringan i Kutamale, mergana Perangin-angin. Raja sitersinget e tuhu-tuhu mbelin kuasana janah ia me ikuten ras penungkunen rayat si tading ije. Ia ngenca iakuina rajana, emaka dungna ia enggo irajaken jadi Sibayak Kutabuluh.

5. Kerajaan Sibayak Kutabuluh
Merga Sibayakna Perangin-angin, inganna tading i Kutabuluh, lit 2 Urungna emekap:
- Urung Namohaji ringan i Kutabuluh
- Urung Liangmelas ringan i Kuta Marding-ding

Larangan dan Anjuran (Sumbang ras Suruhen)

Sumbang artinya tidak pada tempatnya, atau tidak sesuai dengan kedudukannya atau tidak seharusnya. Dalam masyarakat karo, sumbang ini bervariasi. Namun setelah dirangkum pendapat Brahmana, (TT:36-37;44-46) dan Tarigan, (Ginting, 1989:41) ada dua belas sumbang, dan kemudian ada pula dua belas suruhen (anjuran).

1. Sopan bicara (Sumbang Sora Ngerana).
Maksudnya kalau berbicara sebaiknya hati-hati, jangan menampakkan ekspresi mau marah atau ekspresi jengkel, apalagi hal itu dilakukan di depan orang ramai, di depan mertua, di depan ipar, ini tidak sopan, maka dianjurkan agar selalu sopan berbicara.

2. Sopan Cara Makan (Sumbang Perpan).
Artinya kalau makan harus bersikap sopan, jangan terlalu tegak dan jangan terlalu menunduk, tidak boleh tergesa-tegas, maka dianjurkan agar selalu sopan bila sedang makan.

3. Sopan Memandang (Sumbang Pernin Mata).
Artinya tidak baik memandang mertua, ipar, berulang-ulang, ini tidak sopan, maka dianjurkan agar selalu sopan ketika memandang atau menatap seseorang, terlebih-lebih terhadap orang yang dituakan, seperti mertua, orang yang disegani seperti ipar, apakah karena usia atau karena jenjang sapaan.

4. Sopan Mandi di Sungai (Sumbang ridi Ibas Tapin).
Artinya bila ada lawan jenis kita sedang mandi di sungai, jangan di dekati, demikian juga bila mertua kita sedang mandi, jangan di dekati walaupun jenis kelaminnya sama dengan kita. Kalau mau mandi, tunggu dulu mereka selesai baru boleh mandi, maka dianjurkan agar selalu sopan bila hendak pergi mandi.

5. Sopan Duduk (Sumbang Perkundul).
Artinya kalau duduk, duduklah dengan sopan, jangan angkat kaki ke kursi atau ke meja, maka dianjurkan agar selalu sopan bila hendak duduk.

6. Sopan Berpakaian (Sumbang Peruis).
Artinya kalau berpakaian, berpakaianlah secara wajar, maka dianjurkan agar selalu sopan berpakaian.

7. Sopan Menari (Sumbang Perlandek Ibas Gendang).
Dianjurkan agar selalu sopan ketika menari, sebab bila menari di atas panggung, semua mata penonton akan tertuju kepada si penari, kalau cara menari tidak sopan, niscaya akan dinista penonton.

8. Sopan Berjalan (Sumbang Perdalan).
Artinya kalau berjalan dan berselisih dengan orang-orang yang kita hormati, seperti mertua yang berbeda jenis kelamin dengan kita, sebaiknya menghindar jauh. Tidak dibenarkan jalan tergesa-gesa, seandainya tidak begitu penting, agar orang yang berpapasan dengan kita dijalan tidak kaget atau terkejut, maka dianjurkan agar selalu sopan bila berjalan.

9. Sopan Menikah (Sumbang Perempo).
Artinya dilarang menikahi orang yang tidak dibenarkan adat. Misalnya menikahi anak sembuyak atau anak Senina kita atau anak dari anakberu kita, maupun yang lainnya yang tidak dibenarkan adat, maka dianjurkan agar selalu menikahlah sesuai aturan adat.

10. Sopan bekerja (Sumbang Pendahin).
Kalau bekerja, bekerjalah dengan baik, jangan bekerja dengan melawan tata krama yang berlaku di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menjengkelkan masyarakat, membuat orang benci dan sebagainya. Hal-hal seperti itu harus dihindari, maka dianjurkan agar selalu memilih jenis pekerjaan yang baik-baik dan halal.

11. Sopan berpikir (Sumbang Perukuren).
Berpikirlah dengan baik ini, jangan berat sebelah. Pikiran-pikiran yang egois harus dijauhkan, maka dianjurkan agar selalulah berpikir dengan baik dan rasional dengan kondisi yang ada.

12. Sopan Tidur (Sumbang Perpedem).
Ini berhubungan dengan keadaan keluarga masyarakat Karo pada masa lalu. Kalau pada masa lalu, para anak muda dilarang tidur di rumah, pada malam hari mereka tidur di jambur (pondok remaja), bersama teman-teman sebayanya, maka dahulu para anak muda tidaklah sopan bila dia tidur di rumah. Kalau mereka tidur di rumah orang tuanya, mereka ini telah melanggar tata krama umum. Kemudian tidur dengan sopan ini berhubungan pula dengan cara tidur, tidak sopan meletakkan arah kaki ke arah kepala, maka dianjurkan agar selalu tidur dengan sopan.
Sumbang dan suruhen ini juga mengandung unsur pengendalian sosial yang bersifat preventif, mencegah timbulnya masalah-masalah sosial.

Sumber : DALIKEN SI telu DAN SOLUSI MASALAH SOSIAL PADA MASYATAKAT KARO: KAJIAN SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL DRS. PERTAMPILAN S. BRAHMANA, M.SI



Karo dan Sifat Merganya

Sebuah konteks dalam sifat setiap manusia tidak lepas dari aspek psikologis (kejiwaan) manusia itu sendiri. Dengan kebesaran kuasaNya, Tuhan menciptakan manusia dengan keberagaman sifat. Tentu setiap manusia di muka bumi ini diciptakan dengan sisi baik dan buruknya.
Manusia Karo juga tidak terlepas dari keberagaman sifat (biak) itu. Sifat yang dimiliki setiap individu Karo tentu berbeda-beda. Tapi ada sifat dasar pembawaan dari merga yang dipakainya. Mungkin juga sifat ini didasarkan beberapa sebab seperti satu keturunan (terombo), satu kampung berikut kebiasaan dan tradisinya sampai letak geografis tempat tinggal.
Dibawah ini akan dijabarkan sedikit tentang sifat-sifat (Biak-biak) Si Lima Merga. Penulis meriset semua sifat-sifat ini dari wawancara dengan orang-orang tua, beberapa tulisan juga pengalaman pergaulan dari kehidupan sebagai orang Karo di tengah tatanan budaya Karo yang kental.

Karo-Karo
Merga Karo-karo rata-rata cerdas dalam berpikir dan bertindak. Ini terbukti dengan orang Karo yang meraih gelar sarjana pertama kali adalah Dr B. Sitepu dan Mr. Jaga Bukit. Profesor pertama dari Karo adalah Prof. A.T. Barus. Gubernur Sumatera Utara dari Karo pertama kali adalah Ulung Sitepu. Sampai menteri dari Karo yang pernah diangkat adalah M.S. Kaban.
Karo-karo biasanya berkemauan kuat dan berusaha keras meraih cita-citanya. Karena kemauan dan kerja kerasnya itu tidak sedikit Karo-karo berhasil meraih segala keinginannya.
Beru Karo terkenal berani dalam bertindak. Ketika ada yang tidak sesuai keinginan hatinya maka apapun bisa dikata-katainya. Cenderung bersifat mendominasi dalam rumah tangga. Tapi beru Karo terkenal kepintarannya sebagai penyeimbang rumah tangga.

Ginting
Merga Ginting lantang dalam berbicara. Kalau memang pendapatnya benar akan terus dipertahankannya. Siapa yang tidak kenal nama yang sudah didekasikan menjadi salah satu jalan terpanjang di negeri ini, Letjend Jamin Ginting. Termasuk anggota MPR RI, Sutradara Ginting yang pintar dalam mengungkapkan pendapatnya.Tidak takut untuk memulai sesuatu yang baru. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Cenderung patuh pada istrinya.
Beru Ginting terkenal tidak malu tampil ke tengah. Kalau belum berbuat sesuatu rasanya belum ada kepuasan dalam dirinya. Keberaniannya terkadang tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi terhadap tindakannya.

Sembiring
Merga Sembiring rata-rata berjiwa diplomatis. Sedikit berbicara tapi dalam artinya. Terkadang pelan-pelan mengutarakan pendapatnya sehingga keinginan hatinya diterima semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan keturunan Sibayak Sarinembah, Mayjend Raja Kami Sembiring dengan vokalnya yang menghebohkan gedung MPR RI Senayan beberapa tahun lalu. Kriminolog Adrianus Meliala juga termasuk salah satu contoh. Cenderung malu dan takut mengutarakan cinta pada gadis yang dipujanya. Bahkan sekalipun ditanya apakah dia mencintai gadis itu dengan cepat akan ditampiknya dengan halus.
Beru Sembiring berjiwa penyabar. Walau banyak yang tidak menyenangi dirinya dengan sabar dia akan menerimanya. Cenderung sebagai penguasa rumah tangga. Sehingga rumah tangga berada dibawah kendalinya.

Tarigan
Merga Tarigan pintar berbicara. Di kedai kopi ataupun jambur semua obrolan akan didominasinya. Cepat berkelit dalam berkata-kata jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Karena pintar berkata-kata rata-rata merga Tarigan berjiwa dagang. Mulia Tarigan salah satu contohnya. Juga Mestika br Tarigan menjadi psikolog terkenal saat ini.
Beru Tarigan bersifat pasrah terhadap sesuatu yang didapatnya. Apa yang dikatakannya terkadang berbeda dengan isi hatinya.

Perangin-angin
Merga ini disebut dengan julukan Tambar Malem (selain Sebayang). Tambar Malem maksudnya disini adalah kepintaran dalam berkata-kata untuk menghibur orang. Jika ada orang mengalami masalah, Perangin-angin pintar memakai lidahnya untuk menghibur dan mencari solusi jalan keluarnya. Bersifat moderator dan mediator.
Cenderung harus dibujuk-bujuk (tami-tami) dan cemburuan. Berani dalam bertindak dan mengungkapkan pendapatnya. Aktor kawakan Advent Bangun yang telah memakai lidahnya dalam berkotbah di mimbar gereja. Termasuk perjuangan Kiras Bangun alias Pa Garamata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Beru Perangin-angin berjiwa ingin tampil. Ada suatu kebanggaan jika dirinya diperhatikan orang. Bersifat menguasai keluarganya sendiri. Kepintarannya dalam mencari muka pada orang tuanya terkadang membuat perselisihan dengan turangnya sendiri.
Sifat-sifat merga di atas tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kita untuk menyimpulkan sifat seseorang dari merganya. Perkembangan jaman, kehidupan sosial dan perkawinan dengan berbagai suku sedikit demi sedikit mengikis sifat-sifat merga itu sendiri.
Jadi sifat merga diatas hanyalah sebuah kesimpulan kecil dari sebuah penelitian yang setiap saat bisa disanggah dan diperdebatkan. Sekali lagi janganlah kesimpulan diatas menjadi acuan kita untuk menilai sifat merga dan juga sifat seseorang.
Tapi jika kita menelusuri lebih dalam setiap orang Karo mempunyai sifat yang hampir sama. Mungkin dikarenakan alam, budaya dan seninya yang mengacu pada kehidupan sosial Karo itu sendiri.

Catatan kecil tentang sifat orang Karo
Orang Karo itu tidak terlalu rajin tetapi bukan pemalas. Berjiwa lemah lembut dan toleransi yang kuat. Sifat gotong royong dan memusyawarahkan sesuatu secara “sangkep nggeluh” menjadi nilai yang dikedepankan dalam strukur sosial masyarakatnya.
Prinsip hidupnya adalah, ”Ertuah bayak sangap encari,” yang artinya berkembang biak murah rejeki dan etos kerja yang digunakan, “Mangkuk reh mangkuk mulih, Ola lolo cametendu”.
Filosofi hidup orang Karo itu,”Pebelang juma maka mbelang man peranin, Jemur pagendu sangana las,” yang artinya perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya, gunakan kesempatan yang ada.
Ada juga falsafah yang mengatakan, “Keri gia pola isina, gelah mehuli penangketken kitangna,” biarpun habis air nira diminum, asal yang meminum itu menggantungkan tempatnya (kitang) itu dengan baik.
Kelemahan orang Karo pada umumnya mudah tersinggung dan sakit hati. Apabila rasa sakit hati dan ketersinggungan itu terlalu mendalam akan menimbulkan reaksi. Tetapi lebih banyak mengundurkan diri dalam percaturan. Tapi umumnya mempunyai sifat pendendam.
Orang Karo sangat sensitif tetapi menyimpan sifat ideal sebagai single fighter. Berani memulai sesuatu walau tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya. Mempunyai jiwa merantau (erlajang) dan dengan cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ada istilah sendiri yang mengacu hal ini, “Kalau masuk ke kandang kambing, dia akan mengembik tapi tidak jadi kambing. Kalau masuk ke kandang harimau, dia akan mengaum tapi tidak jadi harimau.”
Sebuah sajak indah yang pernah ditulis Djaga Depari tentang Merga Silima

Si Lima Merga
De nen percibalna
tutus atena ras sumangatna
kinigenggengenna ninta
cukup me tuhuna
meteh mehuli meteh mehangke
dahinna la murde
ertuding ras jore
beluh nge erjile-jile
Tapi lit dengang ia pandangen
simorahen ras sicianen
pergelut perbenceng permeja
nakan segarun terbuang dungna
iban si sitik selembar ngenca
De lakin robah
la kin jera
ngerasa kerina
si lima merga
Masing-masing kita sudah mengetahui sifat kita sebagai pribadi maupun sebagai seorang Karo. Tapi alangkah baiknya jika kita menelaah mana sifat yang mendukung hidup ke arah positip dan mana malah yang menghambat.
Adalah suatu jiwa besar jika kita meninggalkan kebiasaan lama dan memulai sesuatu yang lebih baik. Dengan menggunakan sifat yang baik dari kita secara pribadi dan juga dengan sesama niscaya memberikan harapan perubahan baru dalam hidup kita. Salam budaya!

Sistem Kekerabatan di Masyarakat Karo

Kekerabatan di Bawah Payung Sangkep Si Telu
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat direduksi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu sama dengan sangkep si telu, iket si telu, rakut si telu. Pada suku-suku Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan Angkola, maksud yang sama dikenal dengan istilah dalihan na tolu. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur, sedangkan si telu adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, menyusupi aspek-aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara, hukum, dan di zaman yang lampau mempunyai arti yang penting di dalam kehidupan ekonomi dan politik. Pada masa sebelum penjajahan Belanda, juga termasuk ritual, dan segala aktifitas sosial. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.

Berikut penjelasan mengenai masing-masing sangkep ngeluh orang Karo tersebut di dalam hal peradatan:
Senina atau Sembuyak
Senina atau sembuyak, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah saudara antara anggota-anggota yang masih memiliki satu marga, satu ayah/ibu, satu nenek/kakek, satu cicit, dan seterusnya. Beberapa jenis dari sembuyak antara lain: sembuyak sukut (saudara satu ayah dan satu ibu), senina sembuyak bapa (saudara karena satu kakek), senina sembuyak nini (saudara karena satu cicit), senina sembuyak empong (saudara karena satu kakeknya kakek)18. Kelompok terkecil dari sembuyak ini adalah saudara kandung.
Sedangkan kelompok senina dapat pula dibagi ke dalam beberapa bentuk seperti: senina sepemeren (saudara karena ibu mereka bersaudara), senina siparibanen (saudara karena istri bersaudara, atau satu mertua), senina sedalinen (saudara karena ia memperistri impal/anak paman kandung) kita, senina sepengalon (saudara karena anaknya diambil menjadi istri dari anak mertua yang sama), senina ibas runggun adat (saudara yang telah diangkat dalam satu musyawarah adat).
Sistem kekerabatan yang luas itu tidak pula menghilangkan fungsi keluarga inti. Keluarga inti tetap penting, karena apakah seseorang menanam padi atau jagung di ladangnya, apakah ia menghentikan atau meneruskan sekolah anak-anaknya, dan lain-lain, itu adalah urusanya sendiri (keluarga) bukan soal keluarga lain.
Kalimbubu
Perkawinan dalam masyarakat Karo, bukanlah merupakan soal individu (perseorangan), tetapi adalah masalah keluarga. Kawinnya seseorang dengan orang lain tidak hanya mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga dari pihak istri atau suaminya, tetapi terjadilah jaringan-jaringan kekeluargaan di antara kedua golongan keluarga dari mempelai.
Kalimbubu, dapat disamakan dengan hula-hula pada masyarakat Tapanuli, adalah clan “pemberi dara” (yang menyerahkan anak perempuan) dan anak beru, sebagai clan “penerima dara” (yang menyerahkan perempuan). Kalimbubu adalah golongan yang sangat dihormati, dinamakan juga dibata ni idah, yaitu Tuhan yang dapat dilihat. Murah rejeki, anak sehat-sehat, itu semua kerena tuah (berkat) kalimbubu. Demi tuah-nya, maka apabila ia sakit hati (morah-morah kalimbubu), karena sesuatu hal yang tidak senonoh yang dilakukan oleh anak beru-nya, dapat menimbulkan akibat yang buruk (umpamanya dapat mengakibatkan anak lahir cacat, badan selalu kurang sehat, pikiran tidak tenang dan lain-lain). Untuk menghindar dari hal itu semua, maka ada upacara untuk minta maaf kepada kalimbubu yang disebut dengan nabei.
Anak Beru
Anak beru juga dinamakan sebagai si majekken lape-lape, yaitu yang membuat tempat berteduh bagi kalimbubu-nya. Penamaan tersebut, kecuali mencerminkan kedudukannya di dalam upacara-upacara, juga mencerminkan betapa pentingnya kedudukan mereka sebagai golongan yang membawa kedamaian, di dalam keluarga kalimbubu. Pertengkaran-pertengkaran di dalam keluarga merupakan tugas anak beru yang mendamaikannya. Segala upacara-upacara, umpamanya upacara perkawinan, memasuki rumah baru, kematian, dan lain sebagainya, anak beru-lah yang menyelesaikannya24.
Di dalam hal-hal yang berhubungan dengan adat, orang luar tidak boleh berhubungan langsung dengan kalimbubu, tetapi harus melalui dan dengan perantaraan anak beru. Jika ada dua pihak yang bersengketa, maka yang berhadapan langsung adalah anak beru dari masing-masing pihak. Fungsi anak beru di sini adalah sebagai penyambung lidah. Menurut pandangan masyarakat Karo, anak beru dan senina adalah jaminan.
Begitu rumitnya kekerabatan yang ada dalam tatanan masyarakat Karo, yang sampai dengan saat ini hampir sebagian besar orang Karo, baik yang di desa maupun di kota masih tetap melestarikannya, meskipun dalam proporsi yang berbeda-beda. Jelasnya, “roh” kekerabatan ini masih hidup sampai sekarang.
Kita tidak tahu nanti, dengan tantangan global, yang mengandalkan solusi instant untuk segala hal, apakah masyarakat Karo akan tetap bertahan dengan tatanan kekerabatan ini? Jelas-jelas sistem itu terlalu rumit bagi mereka yang sudah bermental teknorasi. Segalanya ingin dibuat menjadi mudah. Atau mungkin saja tetap bertahan, tetapi hanya tinggal sekedar “simbol” saja, tanpa pemaknaan yang mendalam. Padahal harus diketahui, keunikan orang Karo salah satunya yang terpenting adalah sistem kekerabatan ini. Dalam sistem kekerabatan inilah tercermin jiwa gotong-royong (aron) orang Karo. Dari sinilah terlihat, betapa orang Karo sangat mementingkan hal-hal yang bernuansa sosial, bukan individual.
Budaya Ertutur
Untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur (ber-tutur) adalah salah satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut.
Menurut Henry Guntur Tarigan, tutur adalah sebuah pemeo Karo yang berbunyi “Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe”, yang berarti “kalau tidak pandai ber-tutur, takkan ada tempat ke mana pun”.
Namun, nampaknya pemeo ini akan lebih terasa pada masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan.
Adapun melalui tutur seseorang dapat mengetahui tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere-bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar), bere-bere (seorang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya), anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dahulu tabu untuk berbicara langsung, misalnya antara istri kita dengan suami dari saudara perempuan kita), agi (adik), kaka (abang laki-laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki-laki terhadap menantu perempuan), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu) beru (nenek dari ayah atau ibu).
Budaya ertutur dalam masyarakat Karo terdiri dari enam lapis. Berikut ini penjelasan dari keenam lapis proses ertutur yang dikenal di kalangan masyarakat Karo:
  • Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun bagi anak laki-laki). Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak diwariskan bagi anaknya kemudian.

  • Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere-bere saya menjadi bere-bere Karo.

  • Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya.

  • Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu.

  • Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah).

  • Soler adalah nama keluraga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu).

  • Lazimnya, proses ertutur dalam masyarakat Karo yang dipakai oleh seseorang hanya sampai kepada lapis kedua. Sedangkan pada lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan marga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai tingkat ke empat dan enam.
    Setiap orang yang bertemu dengan orang Karo atau menetap dan tinggal di masyarakat Karo, atau kawin dengan orang Karo dari suku yang lain, untuk dapat membangun kekerabatan melalu proses ertutur ini akan dianugerahi atau dikenakan beru atau marga tertentu. Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan seorang Karo lainnya melalui ertutur ini, maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah rakut si telu (ikatan yang tiga), sebagaimana telah dijelaskan dalam butir (a).
    Kemudian orang Karo juga mengenal istilah tutur si waluh yang sebenarnya kurang tepat artinya. Sebagaimana tentang tutur sudah disinggung sebelumnya, tutur itu ada 23. Sedangkan yang disebut waluh (delapan) adalah sangkep nggeluh. Jadi sebenarnya sangkep nggeluh si waluh (delapan kelengkapan hidup), yang merupakan pengembangan fungsi dari rakut si telu.
    Sangkep nggeluh si waluh itu antara lain adalah: pertama, pengembangan dari tegun kalimbubu adalah (1) puang kalimbubu, dan (2) kalimbubu. Kedua, pengembangan dari tegun senina adalah: (1) senina, (2) sembuyak, (3) senina sepemeren, (4) senina siparibanen. Ketiga, pengembangan dari tegun anak beru adalah: (1) anak beru dan (2) anak beru menteri. Jadi jumlah keseluruhan menjadi 2+4+2=831. Itulah yang disebut sebagai sangkep nggeluh si waluh dalam masyarakat Karo.
    Budaya ertutur ini merupakan salah satu bentuk pengungkapan identitas Karo. Seseorang akan dikenal dengan baik kalau ia mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekerabatan dalam ikatan keluarganya. Di samping itu, ia mampu mengenali marga/beru-nya dan bere-bere-nya, sehingga ketika melakukan perkenalan dengan orang lain (ertutur), ia dapat memposisikan dirinya. Berdasarkan pengalaman penulis saat melakukan penelitian, ataupun saat bergaul dengan pemuda-pemuda di gereja, ketika proses ertutur ini dilakukan antara satu orang dengan yang lain, yang baru pertama kali bertemu, secara cepat dan spontan salah satu atau kedua-duanya dari mereka mengatakan “Aku enggak bisa ertutur!”, (aku enggak bisa berkenalan). Ini menandakan betapa perhatian terhadap hal-hal paling kecil, paling mendasar dalam identitas kekaroan (yaitu masalah marga/beru) sudah tidak terlalu dipahami lagi. Ini jelas fenomena yang menunjukkan bahwa bentukan identitas yang diinginkan oleh sebagian generasi muda bukanlah identitas yang kaku, rumit dan tidak populer seperti “identitas kekaroan” (dalam pandangan mereka). Padahal kekhasan orang Karo salah satunya adalah pada proses ertutur itu sendiri.
    Namun, harapan masih tetap ada, mungkin saja sikap-sikap yang ditunjukkan oleh generasi muda (dari pandangan orang tua terhadap orang muda yang diketahui penulis lewat wawancara) akibat dari ketidaktahuan, atau kurang sadarnya pemuda/i Karo akan pentingnya nilai sebuah identitas. Mungkin saja kalau kesadaran mereka dibangkitakan, semangat mereka akan bangkit pula untuk melestarikan, memelihara dan mengembangkan budayanya, sekalipun hal itu kelihatannya rumit. Bukankah kepopulerannya akan sangat tergantung pada bagaimana cara kita memeliharanya?
    Anceng, Cian, Cikurak
    Sifat dan perwatakan manusia Karo yang berwujud pada perilaku atau perbuatan dan pola pikirnya, yang masih melekat pada anggota masyarakat Karo pada umumnya adalah sebagai berikut: jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan tahu akan hak, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian tetap dan pragmatis, sopan, jaga nama keluarga dan harga diri, rasional dan kritis, mudah menyesuaikan diri, gigih mencari ilmu, tabah, beradat, suka membantu dan menolong, pengasih dan hemat, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Di balik sifat-sifat baik di atas, masih ada sifat lain yang juga terdapat di dalam masayarakat Karo seperti anceng, cian, cikurak, yang merupakan sifat jelek yang dimiliki orang Karo, termasuk merupakan kritik terhadap sikap hidup orang Karo yang hendak mencelakakan sesamanya. Kalau dalam istilah orang Manado kita kenal baku cungkel. Umumnya sikap ini muncul oleh karena perasaan iri, motif dendam, atau atau perasaan kurang senang. Sifat jelek seperti ini dapat dipastikan tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi semua suku bangsa yang ada di Indonesia, bahkan suku bangsa di dunia memiliki sifat yang saling menjatuhkan, seperti yang juga diungkapkan oleh Sartre homo homini lupus.
    Istilah “cian” dalam bahasa Karo berarti iri atau dengki. Yang terdekat dari sifat ini adalah cemburu. Sifat ini biasanya selalu mengarah kepada hal-hal yang tidak baik, oleh karena tujuannya adalah merusak. Hal ini mestinya dapat dihilangkan dari setiap pikiran dan sikap manusia. Paling tidak berusaha untuk mengarahkan diri pada hal-hal yang tidak merugikan, atau lebih positif bersaing secara sehat.
    Masih ada dua sifat yang juga bersemi di atara orang-orang Karo, yang sebenarnya juga kurang bermanfaat, yaitu kebiasaan mengata-ngatai orang lain (menjelek-jelekan orang lain) secara negatif yang dikenal dalam bahasa Karo dengan istilah “cekurak”, dan satu lagi adalah istilah “anceng”, yaitu melakukan gangguan atau kendala bagi sesuatu pekerjaan orang lain dengan niat merusak. Untuk membentengi diri dari sifat-sifat semacam ini, hendaknya insan Karo mengubah pola pikir untuk dapat menerima sebuah keadaan dengan terbuka. Hal ini bisa dilakukan dengan menambah wawasan (belajar dari orang lain) dalam bangku pendidikan, atau juga mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga dapat hidup saling mengasihi. Ini berarti kemampuan penguasan diri terhadap naluri merusak (destruktif), juga pemanusiawian apa-apa yang membuatnya menjadi liar, brutal dan mau berkuasa

    (Sumber: Website gbkpjakartapusat.org)

    Kerja Tahun/Merdang Merdem

    Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Konon
    merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh.
    Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara
    tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem
    pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

    Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.

    Hari pertama, cikor-kor.
    Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

    Hari kedua, cikurung.
    Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

    Hari ketiga, ndurung.
    Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

    Hari keempat, mantem atau motong.
    Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk

    Hari kelima, matana.
    Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

    Hari keenam, nimpa.
    Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran
    cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

    Hari ketujuh, rebu.
    Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati
    masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

    Beru Ginting Sope Mbelin

    Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.
    Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
    Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

    Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
    Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
    Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
    Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
    Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
    Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
    Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
    Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
    Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
    Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
    Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
    Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
    Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
    Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
    Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
    Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
    Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
    Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
    Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
    Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
    Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
    Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain:
    a. gendang si ngarak-ngaraki;
    b. gendang perang si perangen;
    c. gendan perang musuh;
    d. gendang mulih-mulih;
    e. gendang ujung perang;
    f. gendang rakut;
    g. gendang jumpa malem;
    h. gendang morah-morah;
    i. gendang tungo-tungko.
    Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.

    Sumber:
    Alm. DR. Henry Guntur Tarigan
    Yayasan Merga Silima

    Guro-guro Aron

    Guro-guro aron berasal dari dua kata, yaitu: guro-guro dan aron. Guro-guro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron berarti muda-mudi. Jadi guro-guro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo, dengan memakai musik karo dan perkolong-kolong. Adapun perlengkapan musik karo yang dipakai untuk itu adalah: sarune, gendang (singindungi dan singanaki), gung dan penganak. Akan tetapi dewasa ini gendang guro-guro aron ini ada kalanya diiringi dengan keyboard. Sementara perkolong-kolong terdiri dari seorang perempuan dan seorang laki-laki yang menyanyi mengiringi aron (muda-mudi) menari. Menurut cerita sebelumnya dikenal dengan nama permangga-mangga, yang menyanyi dari satu desa ke desa lainnya.

    Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :
      1. Latihan Kepemimpinan (Persiapan Suksesi). Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.
      2. Belajar Adat Karo. Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.
      3. Hiburan. Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir.
      4. Metik (tata rias). Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya.
      5. Belajar Etika. Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.
      6. Arena cari Jodoh. Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.
    Adapun guro-guro aron ini dalam pelaksanaannya ada tugas-tugas yang dibagi seperti:
      1. Pengulu Aron/Kemberahen aron. Biasanya gendan guro-guro aron dipimpin oleh pengulu aron dan seorang kemberahen aron. Pengulu aron biasanya dipilih dari pemuda keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), sementara kemberahen aron dipilih dari pemudi kuta anak kalimbubu kuta.
      2. Si mantek guro-guro aron. Yang disebut si mantek adalah pemuda atau pemudi dari satu dua yang ikut sebagai peserta/pelaksana guro-guro aron tersebut. si mantek guro-guro aron berkewajiban membayar biaya yang disebut adangen, sebesar yang telah ditentukan dalam musyawarah.
      3. Pengelompokan aron. Aron dikelompok menurut beru-nya masing-masing, misalnya aron beru Ginting, aron beru Karo, aron beru Perangin-angin, aron beru Seambiring, aron beru Tarigan. Si pemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan kelompok pemudi itu, misalnya bere-bere Karo di aron beru Karo, bere-bere Sembiring di aron beru Sembiring, bere-bere Ginting di aron beru Ginting dan bere-bere Tarigan di aron beru Tarigan. ini untuk menjaga aturan adat, agar pasangan yang tidak boleh berkawin tidak boleh duduk dan menari bersama. aron dipimpin bapa /nande aron.
      4. Kundulen guro-guro aron. Adalah tempat duduk guro-guro ditempatkan pada salah satu rumah adat. Ini untuk menjaga sesuatu hal pelaksanaan guro-guro tidak dapat dilaksanakan di lapanangan (kesain). Untuk itu pengulu aron dan kemberahen aron datang minta izin kepada pemilik rumah.
      5. Aturan Menari. Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron, ada kalanya perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyanyi. Atau ada kalanya diadakan pencak silat (ndikkar), dan setelah orang berkumpul guro-guro aron pun dimulai menurut arutan adat karo.
        a. Gendang Adat b. Landek Permerga-merga c. Landek Aron d. Landek Pekuta-kutaken
        5. Tepuk dan ndehile. Untuk mengakhiri guro-guro aron biasanya juga diakhiri dengan acara menari menurut adat, seperti pada poin (4), malahan dalam acara penutupan ini si erjabaten (pemusik) pun diberi kesempatan untuk menari.
        Demikian sepintas mengenai acara pelaksanaan guro-guro aron. Akan tetapi dengan lahirnya musik keyboard, masalah etika menjadi tidak diperhatikan. Tata cara menari yang semakin seronok dan serampangan. Ini perlu dihilangkan untuk tetap menghormati adat dan etika Karo.
        (Sumber: Darwin Prinst, Adat Karo 2004

    Rumah Adat Karo

    Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.
    Si waluh jabu
    Si waluh jabu


    Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
      a. Rumah sianjung-anjung Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
      b. Rumah Mecu. Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.
    Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
      a. Rumah Sangka Manuk. Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
      b. Rumah Sendi. Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik.
      Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.
        Jabu dalam Rumah Adat
      Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.
      Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
      Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
        1. Jabu Benana Kayu. Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya. Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
        2. Jabu ujung Kayu (anak beru). jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
        3. Jabu Lepar Benana Kayu Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi).
        4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem) Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem. Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas jabu.
        5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel). Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.
        6. jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng). Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.
        7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru). Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
        8. Jabu sedapuren lepar benana kayu Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.
        (Sumber: Darwin Prinst (Adat Karo))

    Suku Karo

    Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba umumnya untuk Batak Tapanuli. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

    Wilayah Suku Karo
    Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

    Kabupaten Tanah Karo
    Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau “Taneh Karo Simalem”. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut trites.Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.

    Kota Medan
    Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

    Kota Binjai
    Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi Sumatera Utara.

    Kabupaten Dairi
    Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang merupakan Taneh Karo:
    * Kecamatan Taneh Pinem
    * Kecamatan Tiga Lingga

    Kabupaten Deli Serdang
    Sebagian kabupaten Deli Serdang yang merupakan Taneh Karo:
    * Kecamatan Lubuk Pakam
    * Kecamatan Bangun Purba
    * Kecamatan Galang
    * Kecamatan Gunung Meriah
    * Kecamatan Sibolangit
    * Kecamatan Pancur Batu
    * Kecamatan Namo Rambe
    * Kecamatan Sunggal
    * Kecamatan Kuta Limbaru
    * Kecamatan STM Hilir
    * Kecamatan Hamparan Perak
    * Kecamatan Tanjung Morawa
    * Kecamatan Sibiru-biru
    * kecamatan STM Hulu
    Kabupaten Langkat
    Taneh Karo di kabupaten Langkat meliputi:
    * Kecamatan Selesai
    * Kecamatan Kuala
    * Kecamatan Salapian
    * Kecamatan Bahorok
    * Kecamatan Pd.Tualang (Batang Serangan)
    * Kecamatan Sungai Bingai
    * Kecamatan Stabat

    Kabupaten Aceh Tenggara
    Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
    * Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
    * Kecamatan Simpang Simadam

    Marga
    Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
    1. Karo-karo
    2. Tarigan
    3. Ginting
    4. Sembiring
    5. Perangin-angin
    Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.

    Rakut Sitelu
    Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
    1. kalimbubu
    2. anak beru
    3. senina
    Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

    Tutur Siwaluh
    Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
    1. puang kalimbubu
    2. kalimbubu
    3. senina
    4. sembuyak
    5. senina sipemeren
    6. senina sepengalon/sedalanen
    7. anak beru
    8. anak beru menteri
    Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
      1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
      2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
  • Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.

  • Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.

  • Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.

    • 3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
      4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
      5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
      6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
      7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
  • anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

  • Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.

    • 8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
    Sumber:Wikipedia Bahasa Indonesia